Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

fasya@iainmadura.ac.id

Menjadi Pemuda Bertanggung Jawab

  • Diposting Oleh Admin Web Fakultas Syariah
  • Jumat, 29 April 2016
  • Dilihat 130 Kali
Bagikan ke

“Wahai pemuda, persoalan umat ada digenggamanmu. Kehidupan dan kesejahteraan umat juga ada pada keberanian kalian untuk maju. Maju dan bangkitlah, maka umat akan bangkit dan sejahtera.” Begitu kutipan pernyataan Mushthafa al-Ghulayaini dalam bukunya Idzdzatun Nasi’in. Begitulah, pemuda menjadi tumpuan utama masa depan komunitas dan masyarakatnya.

Pernyataan di atas menunjukkan dengan tegas bahwa pemuda adalah back bone (tulang punggung) masyarakatnya. Ia bisa mengubah komunitasnya ke arah lebih baik melalui usaha dan keinginannya. Singkatnya, pemuda memiliki peran besar demi kemajuan suatu masyarakat dan oleh karena itu menjadi pemuda bertanggung jawab adalah impian dan seharusnya menjadi cita-cita kita semua. Pemuda yang bertanggung jawab adalah pemuda yang bisa memahami jati dirinya sekaligus lingkungannya, sehingga dalam tingkah polahnya ia bisa menyesuaikan sekaligus mengubahnya menjadi lebih baik. Bukan malah sebaliknya, membiarkan dirinya terlena dengan kebobrokan situasi tanpa ada keinginan untuk mengubahnya sedikitpun.

Begitu pentingnya pemuda, Al-Qur’an juga memberikan perhatian yang luar biasa akan peran pemuda. Salah satu kisah penting, di samping kisah-kisah penting lainnya, dalam Al-Qur’an tentang pemuda adalah kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua). Pemuda yang tergolong dalam Ashabul Kahfi ini menjadi ikon penting sekaligus menjadi tipe ideal (al-matsal al-a’la) pemuda yang bertanggung jawab. Potret pemuda yang senantiasa beriman kepada Allah dan ‘hijrah’ dari komunitasnya yang menyimpang lantaran belum kuasa untuk mengubahnya.    

Mensiati Labilitas
Masa muda merupakan masa-masa yang labil. Ia bisa ditempatkan pada ‘situasi transisi’ dari anak-anak menuju dewasa. Labilitas psikologis pemuda ini ditandai dengan semangatnya yang menggebu-gebu di satu sisi, tapi juga arogansi di sisi yang lain. Sehingga kerap kali tindakannya di luar kendali akal dan hanya menuruti emosi semata.
Situasi semacam inilah yang menjadikan masa muda sebagai masa yang rentan. Labilitas emosi itulah yang menjadikannya lepas kontrol dan hanya mementingkan kepentingan sesaat. Disoreintasi kerap menjadi penyakit dadakan pemuda yang kalau tidak segera diatasi akan berdampak pada raibnya harapan akan masa depan di mana pemuda menjadi tumpuan harapannya. Jika ini terus berlarut-larut, maka tidak mustahil labilitas psikologis pemuda ini mengarah pada sikap menyimpang. Sikap menyimpang pemuda yang tidak terkontrol akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, dan dampak lebih lanjut adalah pupusnya harapan akan masa depan komunitas dan bangsa yang baik.

Moralitas Pemuda
Oleh karena pemuda merupakan tulang punggung komunitasnya, maka mendidik pemuda untuk merawat moralitasnya merupakan tugas utama. Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu berpesan, “Jangan didik moralitas anak-anak kalian dengan model moralitas kalian, karena mereka hidup pada ruang dan waktu yang berbeda dengan kalian” (La tukhalliqu awladakum bi akhlaqikum fainnahum khuliqu lizamanin ghair zamanikum).
 
Apa yang hendak disampaikan Sayyidina Ali adalah anjuran kepada orang tua untuk senantiasa mempertimbangkan ruang dan waktu dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya. Sehingga ia bisa menjadi pemuda yang benar-benar siap dan tangguh dalam menghadapi segala bentuk perubahan yang begitu pesat di masa di mana ia akan membangun masa depannya.
Pesan Sayyidina Ali juga mengindikasikan adanya pemilahan antara apa yang disebut dengan moralitas yang konstan (al-akhlaq al-tsabitah), tidak berubah-ubah sepanjang zaman, dalam ruang dan waktu manapun, yang ini harus menjadi prinsip yang harus dipegangi para pemuda. Moralitas yang konstan ini adalah nilai-nilai otentik (al-qiyam al-ashilah) yang mutlak dimiliki siapa saja, tidak terkecuali para pemuda, yaitu jujur, bertanggung jawab, dan sejenisnya.
 
Namun ada juga moralitas yang dinamis (al-akhlaq al-mutaharrikah), berubah-ubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Meskipun moralitas jenis ini bukan prinsip, namun harus dimiliki oleh para pemuda, dan strateginya bisa berubah-ubah seiring dengan perubahan waktu. Ini, misalnya, mencakup bagaimana membangun relasi dengan lainnya, etika komunikasi, tata cara mengekspresikan pendapat, dan semacamnya. Hal ini mungkin saja berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Moralitas jenis ini harus terus ditanamkan oleh orang tua dan pendidik agar anak atau anak didiknya kelak tidak terkaget-kaget dengan realitas yang terus berubah, dan berbeda dengan masa kecilnya.

Sayangnya, di tengah-tengah masyarakat kita, pemuda kerap menjadi ‘penyakit’ ketimbang ‘obat’ masyarakat. Fenomena mutakhir menunjukkan adanya eskalasi tingkat kebobrokan moralitas yang itu dilakoni oleh para pemuda. Pesta narkoba, minum-minuman keras, seks bebas, dan semacamnya selalu menghiasi berita di media massa. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa fakta di hadapan kita adalah indikasi awal bagi matinya peran pemuda dan merawat dirinya sendiri, lebih-lebih merawat komunitasnya. Padahal, raibnya moralitas justru menjadi awal buruk bagi masa depan suatu bangsa. Penyair lembah Nil, Sauqi Bek, mengungkapkan: Peradaban suatu bangsa akan terus bertahan seiring dengan bertahannya moralitas masyarakatnya. Sebaliknya, raibnya moralitas akan meraibkan peradaban suatu bangsa.

???? ????? ??????? ?????? # ??? ??? ???? ??????? ?????

Persoalannya, mengapa masih banyak pemuda-pemuda kita yang hanya beriman kepada kebatilan sementara pada nikmat dan anugerah Allah mereka kufur, afabil baathil yu’minun wa bini’matillah hum yakfurun? (Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?)" (An-Nahl [16]: 72)
Keluarga sebagai bagian terkecil dalam masyarakat sejatinya bisa membimbing dan mengarahkan pemuda, sekaligus menanamkan moralitas, baik moralitas yang konstan maupun moralitas dinamis dengan menginvestasikan pendidikan yang konstekstual bagi kehidupan generasi muda di masa mendatang. Sehingga mereka tidak asing dengan realitas dan tantangan masa yang akan ia hadapi di masa mendatang. I’tikad baik keluarga ini juga harus ditopang oleh masyarakat secara massif di samping juga kebijakan pemerintah yang memberikan perhatian besar bagi masa depan pemuda.
 
Di sinilah peran semua pihak, keluarga, pemerintah dan semua elemen masyarakat untuk bahu membahu mengarahkan masa depan pemuda dan mengantarkannya pada kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang memberikan dampak positif baik bagi diri, keluarga, masyarakat, agama, dan bangsanya. Mengingat pemuda merupakan idaman masa depan, dan oleh karena itu, investasi yang baik di masa kini menjadi penting untuk terus diupayakan demi kebaikan masa mendatang. Selain memintakan tanggung jawab kepada keluarga, masyarakat, dan pemerintah, sejatinya para pemuda sendiri menyadari jati dirinya dengan menjadi pemuda yang bertanggung jawab. (Ah. Fawaid, Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir STAIN Pamekasan, fawaid.sjadzili@gmail.com)