Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

fasya@iainmadura.ac.id

SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU IQT FAKULTAS SYARIAH 2018, MENGAPA SAYA MEMILIH PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR?

  • Diposting Oleh Admin Web Fakultas Syariah
  • Sabtu, 18 Agustus 2018
  • Dilihat 109 Kali
Bagikan ke

PBAK PRODI IQT - Ini pertanyaan pertama yang saya lontarkan kepada para mahasiswa baru di Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IQT) STAIN Pamekasan (sekarang IAIN Madura), ketika saya pertama kali bertatap muka di kelas-kelas mereka. Setidaknya ini saya lakukan di dua angkatan pertama, 2015 dan 2016, angkatan ketika saya masih sempat belajar bersama mereka. Pertanyaan spesifik ini penting saya tanyakan kepada mereka, setidaknya untuk memastikan bahwa mereka berada di kelas IQT bukan karena “tersesat”, apalagi “disesatkan”. Walaupun dalam beberapa kasus, ada di antara mereka yang memilih secara sadar namun merasa “tersesat” karena ternyata dalam perjalanannya tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Entah apa yang mereka bayangkan sebelumnya dengan IQT, sehingga setelah beberapa waktu berlalu kemudian merasa ‘tersesat”. Namanya kasus tentu tidak banyak, hanya hitungan satu-dua saja. Apa jawaban mereka terkait pertanyaan tersebut? Secara umum, penyebutan kata al-Qur’an pada nama program studi itu merupakan daya tarik utama mereka untuk memutuskan memilih IQT sebagai konsentrasi keilmuan mereka. “Saya ingin mendalami al-Qur’an di tengah keengganan sebagian besar Muslim untuk membaca al-Qur’an apalagi mendalaminya.” Itu di antara jawaban, di samping jawaban senafas, sembari dikuatkan dengan argumen normatif bahwa sebaik-baiknya kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Alasan semacam ini, di samping alasan penguat lainnya seperti keinginan mencari “lingkungan Qur’ani” untuk mengamankan hafalan al-Qur’an yang dimilikinya, merupakan alasan populer di kalangan para mahasiswa IQT di dua angkatan pertama ini. Bisa dikatakan, 97% di antara mereka memilih IQT atas dasar alasan mulia: mendalami al-Qur’an dan Tafsir. Bahkan di antara mereka sadar, meskipun di antara mereka tidak memiliki latar belakang pondok-pesantren, keinginan mendalami al-Qur’an merupakan pilihan bulat mereka. Ada 2 di antara mereka mengakui bahwa ia ingin mendalami al-Qur’an meskipun dirinya tidak pernah menjadi nyantri di pondok pesantren. Bahkan ia menegaskan bahwa pilihannya itu dalam rangka “hijrah” demi memperbaiki diri. Adapun 3% sisanya adalah karena “pesanan” orang tua, selain rasa penasaran lantaran mereka belum pernah mengetahui sebelumnya, dan karena faktor pilihan kedua. Membaca pengakuan mereka, saya hanya bisa berkata, “Wow, luar biasa.” Di tengah iklim pragmatis saat ini, tidak sedikit di antara para mahasiswa baru yang menjatuhkan pilihannya pada program studi tertentu dengan niatan mulia: mendalami al-Qur’an. Niat tulus mencari ilmu untuk kemudian menularkannya pada lainnya. Mereka secara sadar memilih disiplin keilmuan yang diminati, dan mereka nyaman dan menikmati perjalanan akademiknya. Lalu seandainya saat ini saya bertanya, apakah kalian benar-benar tidak salah pilih dengan memutuskan bergabung di IQT, kira-kira apa jawaban kalian? Apakah betul kesimpulan saya bahwa kalian nyaman dan menikmati perjalanan akademik ini di program studi IQT, program studi yang menjadi ruh keilmuan di PTKI? Tentu saya masih menunggu testimoni kalian. Terima kasih. Oleh: Ah. Fawaid, MA (Ka. Prodi IQT periode 2015-2016) ================================= BSA; Penguasaan Linguistik IQT Dulu saat saya di fakultas Adab jurusan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga, ada dosen saya di semester 3, namanya Jarot Wahyudi. Salah satu nama dosen yang saya ingat hingga hari ini. Beliau mngatakan: "Apapun yang kalian pelajari di jurusan ini, lakukanlah untuk mempelajari al-Qur’an." Kalimat yang sederhana, tetapi menarik, fokus akademik saya sepenuhnya untuk mempelajari al-Qur’an. Semula saya berminat pada fokus studi sastra Arab, namun setelah "sihir" sederhana Pak Jarot yang Muhammadiyah ini, saya beralih ke fokus studi bahasa Arab. Di sastra Arab, saya ditimbun oleh syi'ir-syi'ir Arab yang sulit saya rasakan sentuhannya. Saya kesulitan memasuki cakrawala mental syi'ir itu meskipun indah. Di fokus studi bahasa Arablah saya mendapatkan pengalaman bersentuhan dengan al-Qur’an. Studi bahasa Arab menempatkan bahasa Arab sebagai objek formal tetapi objek materialnya adalah al-Qur’an. Hasilnya saat saya memilih program studi al-Qur’an di Pascasarjana, saya selangkah dua langkah lebih maju dari teman-teman alumni IQT terutama saat pembahasan tafsir al-Qur’an yang mengungkap sisi-sisi kebahasaan dan filosofi lingualnya. Setelah saya pelajari kenapa bisa demikian, ternyata faktor kurikulum di IQT kalah teknis dengan yang di BSA (Bahasa dan Sastra Arab). Misal, di BSA ada matakuliah filsafat bahasa, yang di dalamnya mempelajari ruh bahasa termasuk bahasa Arab dan terkhusus bahasa al-Qur’an. Ada juga matakuliah tarjamah, yang berguna memahami kerangka sintaktik-sintagmatik al-Qur’an. Di BSA, skripsi saya tentang karakter bahasa al-Qur’an antara Ayat Makkiyah dan Madaniyah (Studi Pragmatik-Sosiolinguistik). Alhamdulillah, dalam prosesnya saya ter-wow wow wow dengan rasa bahasa al-Qur’an yang subtil. Skripsinya sendiri gagal menjawab rumusan masalah meskipun dapat nilai A+. Kenapa dapat nilai A+, karena saya telah mencoba menganalisis al-Qur’an dari sisi yang para dosen pengujinya juga ingin tahu apa hasilnya. Oleh: Syukron Affani (dosen tetap Prodi IQT) ================================================== Bersyukur masuk IQT Sedari awal saya memilih prodi IQT dengan tujuan hanya ingin mendalami Alquran. Saya sama sekali tidak berandai, akan berhadapan dengan pemikiran-pemikiran sulit para tokoh keislaman kontemporer. Ketika yang terakhir ini terjadi, sempat terlintas dalam benak, apakah sebaiknya saya pindah, dlsb. Lalu saya berpikir lebih jauh, mengamati sekitar, dan mendapati kenyataan bahwa mungkin inilah pilihan terbaik yang tak terencanakan itu. Saya suka bahasa Inggris sejak SD, bahkan berencana ambil jurusan itu ketika kuliah, tapi pikiran saat kelasa 3 MA berbalik dan beranggapan bahwa "bahasa" itu hanya soal keahlian, bukan "ilmu pengetahuan." Entahlah, mungkin takdir yg menuntun demikian. Tapi ternyata di IQT justru saya mendapat keduanya. Bahasa Inggris dan Arab di IQT seakan menjadi bekal wajib, sehingga saat itu saya berpikir, "sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui." Waktu berjalan. Semester menua. Seiring dengan itu sedikit sekali pengalaman yg masih dilewati, ketimbang luasnya samudera keilmuan Alquran yang secara sadar saya rasakan ada di hadapan saya. Menyilami ilmu ini butuh keahlian multidisipliner. Sempat timbullah pesimisme, di samping finansial yang tampaknya akan menjadi batu sandungan. Terlepas dari semua itu, saya sama sekali tidak merasa menyesal, justru berpikir bahwa mereka yang menyesal, maaf, sekali lagi maaf, "berpikiran pendek." Jika ahli dalam keilmuan ini, saya pikir, seseorang bisa masuk di dua iklim skaligus; Tarbiyah atau Syariah. Itulah yang kemudian berusaha saya dan teman-teman seperjuangan angkat sebagai materi Seminar Interaktif beberapa bulan lalu. Hanya ingin berbagi, bahwa perjalanan dalam keilmuan ini membutuhkan waktu relatif lama ketimbang sarjana pragmatis (instan) seperti teller, dlsb. Butuh keuletan, dan saya sadar masih jauh untuk mencapai itu. Maka dr itu kami tetap mengharap dedikasi para dosen, terutama tentang rencana studi pasca S1 ini selesai. Terimakasih. Oleh: Ahmad Khoiri (Angkatan pertama IQT/2015)