Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

fasya@iainmadura.ac.id

MENANAM POHON MATOA DI HARI BUMI: “Tanam 20 Tahun Yang Lalu atau Hari Ini, Menyelamatkan Bumi, Menjaga Warisan dan Menata Masa Depan”

  • Diposting Oleh Admin Web Fakultas Syariah
  • Selasa, 22 April 2025
  • Dilihat 33 Kali
Bagikan ke

Sebuah tulisan yang bagus lahir dari tim redaksi Bimas Islam. Dalam tulisan tersebut menyebut bahwa wajah kehidupan perlahan berubah. Dipahat oleh gelombang panas. Dipecah kekeringan panjang. Badai cuaca yang menggila adalah aksara baru yang menulis ulang narasi kehidupan di setiap benua, dari Afrika hingga Asia, dari Amerika hingga Australia. Tak terkecuali Indonesia, negeri tropis yang dikenal subur, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: deforestasi, degradasi lahan, dan krisis ekologi yang kian menyata. Namun di tengah kecemasan itu, harapan tumbuh dari gagasan besar Kementerian Agama (Kemenag). Satu suluh dari delapan prioritas (Asta Protas) yang diluncurkan Menteri Agama Nasaruddin Umar, ialah penguatan ekoteologi—yang menjadi pilihan strategis untuk menyelaraskan kehidupan manusia dengan alam. Kemenag RI hadir sebagai kekuatan moral dalam merawat bumi. Diantara ASTA PROTAS KEMENAG RI 2025-2029 adalah Gerakan Nasional Penanaman Satu Juta Pohon Matoa di hari bumi, 22 April 2025.

Mengapa Harus Matoa?

Di antara hamparan pohon yang tumbuh subur di bumi Nusantara, mengapa justru pohon ini yang dipilih, yang diangkat, seolah mewakili sebuah harapan? Jawabannya tidak sekadar terletak pada manisnya rasa buah atau eksotisme bentuknya yang memikat mata. Lebih dari itu, Matoa menyimpan filosofi dan potensi besar dalam membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Pohon Matoa (pometia pinnata) adalah tanaman asli Papua yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam ekosistem tropis Indonesia Timur. Tingginya bisa mencapai 18 meter, dengan tajuk yang rindang dan akar yang kuat. Secara ekologis, matoa memiliki kemampuan istimewa: ia dapat menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, menghasilkan oksigen, mencegah erosi, dan memperbaiki kualitas tanah.

Matoa bukan hanya pohon, tapi simbol ketangguhan. Matoa dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Nusantara, dari tanah Aceh hingga Merauke. Kemampuannya bertahan dalam cuaca ekstrem menjadikannya metafora tentang harapan: bahwa kehidupan bisa bertunas bahkan di kondisi yang genting.

Di balik rimbun daunnya yang tenang dan ketangguhan ekologis, Matoa menyimpan denyut kehidupan yang lebih dari sekadar hijau. Ia bukan hanya penjaga harmoni alam, tetapi juga penjaga harapan manusia. Buahnya pun memiliki cita rasa yang tak lazim, seolah memadukan manisnya lengkeng dengan aroma menggoda durian, menyapa lidah dengan percaya diri. Ia membawa peluang, membuka jalan bagi tumbuhnya ekonomi lokal yang bersandar pada alam, bukan dengan perusakan. Sementara kayunya, kokoh namun ringan, siap diolah menjadi karya: dari konstruksi sederhana hingga kerajinan tangan yang menyimpan jejak budaya dan ketekunan.

Tak sekadar tegak di antara rerimbun hutan, Matoa adalah warisan hayati bangsa. Di tengah ekspansi industri yang terus menggusur batas-batas alam, melestarikan pohon endemik seperti matoa adalah tindakan menyulam kembali jalinan kearifan lokal yang nyaris pudar.

Fakultas Syariah IAIN Madura sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda Kementerian Agama RI tersebut, melakukan penanaman pohon matoa tersebut di halangan kampus. Kegiatan ini dimulai dengan apel bersama. Dekan Fakultas Syariah, Prof. Dr. Hj. Siti Musawwamah, M. Hum, berharap “pohon ini (termasuk pohon yang sudah ada) sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup di bumi karena mampu menyerap CO2 atau karbon dioksida dan menghasilkan O2 atau oksigen. Karena itu, pohon-pohon tersebut harus dirawat dan dijaga agar dapat menyelamatkan penduduk bumi dan menghindari kerusakan alam semesta, menjaga warisan dan menata masa depan”, tegasnya.