Alamat

Jl. Raya Panglegur KM.4 Pamekasan

Telp./WA

+62 324 322551

Email

fasya@iainmadura.ac.id

Review Book : membongkar teori berhukum statis menuju hukum islam dinamis

  • Diposting Oleh Admin Web Fakultas Syariah
  • Senin, 2 Mei 2016
  • Dilihat 85 Kali
Bagikan ke

  • Judul : The Spirit of Islamic Law [membongkar teori berhukum statis menuju hukum islam dinamis]
  • Penulis : Ahmad Faidy Haris
  • Penerbit : Suka Press Yogyakarta
  • Tahun : 2014
  • Tebal : xiv-15O hlm

AKTUALISASI SEMANGAT HUKUM ISLAM
Oleh : A. Faidy Haris*


Ketika Allah SWT. dan Rasul Muhammad SAW. menetapkan aturan-aturan hukum untuk umat manusia, sudah barang tentu hal tersebut memiliki maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam literatur hukum Islam, maksud dan tujuan hukum itu dikenal dengan istilah maqasid al-syari’ah. Melalui al-Qur’an—kitab yang turun kepada Nabi Muhammad SAW,—Allah SWT. menjelaskan secara universal maksud dan tujuan dari syari’ah sebagai Islamic Law itu sendiri, yakni, demi terwujudnya keselamatan dan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Al-Qur’an telah memproklamirkan diri sebagai sebagai kitab petunjuk dan rahmat bagi umat manusia. Ia juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. diutus ke dunia untuk memberikan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin), dengan tujuan untuk menyempurnakan etika umat  manusia di muka bumi ini.

Maksud dan tujuan substantif dari universalisme hukum Islam (maqasid al-syari’ah) menurut Asy-Syatibi merupakan tujuan hakiki syari’ah  (islamic law) yang telah diakui oleh seluruh ulama dan tidak ada satupun yang mengingkarinya. Dari penelitian terhadap teks-teks suci baik al-Qur’an maupun al-Hadits, pada ujungnya menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengkonstatir bahwa syari’at Islam (islamic law) dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusian universal lainnya, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari setiap rancangan dan perumusan fiqih sebagai yurisprudensi Islam (islamic yurisprudence). Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para pengkaji hukum Islam (fuqaha’), ketika hendak melakukan proses istinbat dalam memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita syari’ah (maqasid al-syari’ah) itu sendiri.

Menurut penulis buku ini merupakan suatu keharusan bagi para pengkaji dalam melakukan proses istinbat (penetapan) hukum Islam untuk memahami dan mengatahui maqasid al-syari’ah, karena dengan mengetahui maksud dan tujuan syari’ah, para pengkaji hukum Islam dapat menganalisis landasan yang digunakan oleh Syari’ (Allah), yaitu ketika menetapkan suatu aturan sehingga dapat mengaplikasikan dan menyelaraskan aturan yang ada dalam teks al-Qur’an dan al-Sunnah dengan realitas empiris, di samping juga dapat mengembangkan dan menetapkan aturan-aturan hukum yang baru yang belum sempat diatur dalam nas al-Qur’an dan al-Sunnah [hlm.5].
Sebagaimana yang telah duraikan dalam buku ini, salah satu cara yang dikembangkan oleh para ulama klasik (tabi’in) dalam memahami masalah yang tidak muncul dalam nas adalah dengan melakukan ijtihad. Mereka berupaya mengarahkan kesungguhannya dengan usaha yang optimal dalam mencoba menggali hukum syara’ [hlm.39].

Wujud fiqih sebagai yurisprudensi Islam (islamic yurisprudence)  pada awalnya bermula dari pendapat perorangan terhadap pemahaman nas atau pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap suatu kejadian (waqi’iyah) yang ada. Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu, kemudian diikuti oleh orang  lain atau murid yang jumlahnya kian hari bertambah banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya diikuti oleh orang lain, kemudian menjadi baku.

Yurisprudensi Islam (fiqh) dari pendapat perseorangan yang kemudian diikuti oleh murid-muridnya lalu dianggap sebagai pendapat yang paling kuat  di daerah atau kota tertentu. Ketika itulah maka disebut dengan mazhab sebuah kota atau daerah, yang seolah-olah telah menjadi sebuah konsensus (ijma’) dari masyarakatnya untuk dijadiakan hukum positif (ius constitutum) di daerah atau kota tersebut. Dalam sejarahnya, ada tiga mazhab besar atas dasar kedaerahan ini, yaitu mazhab Iraqi, mazhab Hijazi dan mazhab Syami [hlm.32-33].
Polarisasi mazhab-mazhab sebagaimana telah diulas dalam buku initelah menjadikan hukum Islam berkembang ke seluruh dunia. Selama berabad-abad, mazhab itu telah mendominasi perkembangan yurisprudensi Islam (fiqih) dan pemikirannya. Bahkan, tidak jarang pemikiran tentang hukum Islam di dalam masing-masing mazhab itu dipahami secara doktrinal dan dogmatik. Artinya, pendapat imam mazhab dan beberapa ulama besar, yang mengikatkan dirinya pada mazhab tertentu menjadi sebuah doktrin. Inilah yang kemudian disebut dalam buku dengan bermazhab fi aqwal atau mazhab qauli. Yakni mengikuti pendapat yang sudah matang, tanpa mempelajari metodologinya (manhaj-nya). Berbeda dengan mazhab fi aqwal, bermazhab fil manhaj atau mazhab manhaji adalah bermazhab dengan cara menekankan pada upaya mempelajari dan mengikuti terhadap metodologi atau manhaj yang dipakai para imam-imam mazhab.
 
Sejak munculnya wacana taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke-3 Hijriah atau permulaan abad ke-4 Hijriah—tradisi bermazhab seolah-olah telah menjadi kewajiban bagi kaum muslimin. Para fuqaha’ dari semua mazhab merasa bahwa setiap problem hukum yang esensial telah dibahas dan diselesaikan secara menyeluruh oleh para fuqaha’ besar (imam mazhab) yang hidup era sebelumnya. Anggapan ini kemudian berkembang seolah-olah menjadi suatu konsensus, yang secara bertahap dengan sendirinya menetapkan bahwa tidak ada seorangpun yang dianggap memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan untuk melakukan ijtihad mandiri.
Menurut penulis buku ini dengan pola atau corak apapun dalam bermazhab, selama produk  hukum yang dihasilkan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan syari’ah (maqasid al-syariah) hal tersebut sah-sah saja. Suatu hal yang menjadi masalah adalah ketika rumusan hukum yang dihasilkan itu kosong dari maslahah kemanusian sebagai inti dari maqasid al-syari’ah.
 
Penulis buku ini berusaha ingin mencoba menakar kedekatan kedua corak bermazhab (qauli dan manhaji), terhadap maslahah sebagai inti dari maqasid al-syari’ah itu sendiri. Suatu hal yang perlu diluruskan adalah pandangan masyarakat muslim pada umumnya  yang memandang hukum Islam identik dengan Fiqih  atau   Syari’at. Padahal kedua nomenklatur ini secara epistemologis memiliki arti yang sangat berbeda. Term  syari’at   itu   sendiri   mencakup   seluruh   ajaran   Islam,   yang mencakup  ibadah,  muamalah,  ahklak  ataupun  Fiqih  itu  sendiri,  yang semuanya bersumber dalam Al Qur'an. Sedangkan Fiqih  adalah  rumusan hukum  yang  dihasilkan  oleh  pemikian manusia melalui   ijtihad  (penelitian).  Oleh sebab itu, Fiqih hanya merupan salah satu elemen dari syari’ah. Kongklusi sederhana yang dapat diambil dari pengertian kedua term  di atas Syari’ah adalah merupakan suatu produk ilahiyah untuk umat Islam sedangkan fiqih adalah merupakan produk insaniyah untuk umat Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa syari’ah sebagai hukum Islam (islamic law) secara universal yang brsifat fundamental, sedangkan fiqih sebagai salah satu bentuk pemahaman dari syari’ah dapat disebut yurisprudensi Islam (islamic Jurispruden) yang lebih bersifat instrumental [hlm.124].

Buku yang diberi judul “The Spirit Of Islamic Law, Membongkar Teori Berhukum Statis Menuju Hukum Islam Dinamis”, merupakan bentuk kegelisahan pnulis terhadap fenomena kemandekan wacana keilmuan dalam dunia Islam, terutama adanya upaya sakralisasi terhadap fiqh sebagai kumpulan hukum Tuhan, bukan sebagai produk keagamaan, tapi dipandang sebagai  buku  agama itu sendiri.
Panorama pemikiran baru yang penulis tawarkan dalam buku ini senantiasa diharapkan akan lahir produk hukum islam yang senantiasa berkembang, selalu dinamis, dapat diterima semua golongan, serta menghargai hak-hak kaum perempuan. Corak berfikih yang cendrung bias gender -yang selalu lahir dari pemikiran konservatif- sudah selayaknya dikubur dalam-dalam guna mewujudkan cita-cita islam yang rahmatan lil ‘alamin.

*Penulis Buku